Bila kita membicarakan radikalisme, setidaknya terdapat 8 (delapan) doktrin ideologi kelompok radikal yang digunakannya untuk mendoktrin orang lain agar mengikuti propagandanya.  Delapan (8) Doktrin Radikal Delapan doktrin ideologi radikal yang dimaksud adalah:

1) al-hakimiyyah lillah, kedaulatan hanya milik Allah.

2) takfirul hukkam wa ajhizahtud daulah, mengafirkan pemerintah dan aparatur negara.

3) jahiliyyatul ‘alam, meyakini dunia telah kembali pada kejahiliyahan seperti zaman awal Nabi SAW diutus.

4) al-wala’ wal barra’, meyakini kelompoknya harus dibela sedangkan kelompok lain harus dimusuhi dan diperangi.

5) darul harbi wal kufri, meyakini seluruh dunia adalah negeri kafir dan medan perang.

6) al-jihad fi sabilillah.

7) al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar, dan

8) iqamatul khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, menegakkan khilafah sebagai puncak agenda politiknya. (Alfanul Makky dkk., Kritik Ideologi Radikal: Deradikalisasi Doktrin Keagamaan Ekstrem dalam Upaya Meneguhkan Islam Berwawasan Kebangsaan, [Kediri, Lirboyo Press: 2019], ed.: M. Azizi Hasbulloh, halaman 18).

Kemudian masing-masing ideologi ini dilandasi dengan Al-Qur’an dan Hadits yang telah dikunci penafsirannya, atau the interpretation is locked, sehingga orang lain tidak dapat melawannya. Kalau ada orang yang berani nekat melawannya, berarti ia sama saja melawan Al-Qur’an dan Hadits dan pantas dianggap sebagai musuh. Hal ini tentu berbeda dengan tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah yang lebih terbuka dalam penafsiran ayat Al-Qur’an atau penjelasan syarah hadits sehingga sangat membuka kemungkinan munculnya beragam interpretasi sebagaimana kita baca dalam kitab-kitab tafsir dan syarah hadits Ahlussunnah wal Jama’ah, mulai yang ditulis di masa klasik hingga yang ditulis di masa kontemporer. Karenanya dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, orang yang berbeda penafsiran tidak otomatis dapat dituduh telah melawan Al-Qur’an dan menentang Nabi Muhammad SAW. Kedaulatan Hanya Milik Allah Sebagai contoh, doktrin al-hakimiyyah lillah, bahwa kedaulatan secara mutlak hanya milik Allah. Yang mendoktrinkan bahwa yang berhak menciptakan hukum untuk pedoman hidup manusia dan wajib ditaati hanya Allah, dan memutus secara total dari segala hukum, sistem, tata nilai dan undang-undang produk manusia. Dalam konteks ini Sayyid Quthub (1906-1966) tokoh penting Ikhwanul Muslimin Mesir yang berhasil merumuskan doktrin ideologi radikal secara rapi dan menjadi rujukan berbagai gerakan radikal global, mendasarkan doktrin al-hakimiyyah pada penggalan ayat:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya, “Orang yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Surat Al-Maidah ayat 44).

     Oleh Sayyid Quthub, ayat ini kemudian ditafsirkan sebagai ketegasan Allah bahwa siapa saja orangnya di mana dan kapan saja dia hidup, yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan justru berhukum dengan hukum lainnya, maka ia telah membuang status Allah sebagai Tuhan di satu sisi dan menuhankan dirinya sendiri di sisi lain. Tidaklah orang itu menjadi kafir jika ia tidak berlaku seperti itu.

ومن يحكم بغير ما أنزل الله يرفض ألوهيته وخصائصها في جانب، ويدعي لنفسه هو حق الألوهية في جانب آخر … وماذا يكون الكفر إن لم يكون هو هذا وذاك؟ 

Artinya, “Orang yang berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan, maka berarti ia membuang sifat ketuhanan Allah dan berbagai kekhususannya di satu sisi, dan mendakwakan hak ketuhanan dan kekhususannya bagi dirinya sendiri di sisi lainnya. Tidaklah ditemukan kekufuran pada dirinya bila ia tidak berlaku seperti itu.” (Sayyid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an, [Kairo, Darus Syuruq, 1423 H/2003], cetakan ke-23, jilid II, halaman 898). Setelah menafsirkan secara tekstual, Sayyid Quthub kemudian mengunci penafsirannya dengan menafikan penafsiran dan takwil mufassirin lainnya:

والتأويل والتأول في مثل هذا الحكم لا يعني إلا محاولة تحريف الكلم عن مواضعه … وليس هذه المماحكة من قيمة ولا أثر في صرف حكم الله عن من ينطبق عليهم النص الصريح الواضح الأكيد. 

Artinya, “Penakwilan dan rekayasa penakwilan dalam hukum seperti ini tidak menghendaki kecuali berusaha untuk menyelewengkan firman-firman Allah dari maudhu’ atau maksud sebenarnya … Mumahakah atau penggunaan kalimat tidak pada tempatnya untuk kepentingan berdebat seperti ini tidak berharga sama sekali dan tidak berpengaruh menyimpangkan hukum Allah dari orang yang yang menjadi objek hukumnya dengan nash yang sangat jelas, terang dan sangat tegas.” (Quthub, Fi Zhilalil Qur’an: 898).

Nah, lihatlah bagaimana Sayyid Quthub mengunci penafsiran Al-Maidah 44 dan menafikan interpretasi dan penafsiran lainnya. Bahkan ia menuduhnya sebagai penyimpangan. Penafsiran ayat harus sesuai dengan pendapatnya. Sedangkan penafsiran lain yang tidak sesuai dianggap menyimpang dari maksud Al-Qur’an. Tentu hal ini berbeda dengan ragam tafsir pada ayat tersebut dari para mufassir Ahlussunnah wal Jama’ah yang akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya, insya Allah. Dari sini dapat diprediksi, begitu strategisnya doktrin ideologi radikal memengaruhi orang-orang yang menjadi sasaran propagandanya. Apalagi anak-anak muda yang punya religiusitas tinggi namun tidak mempunyai cukup ilmu atau komunitas pergaulan yang mampu memberikan narasi penafsiran sandingan yang berbeda dengannya. Tentu ia akan mudah terjebak dalam doktrin-doktrin radikal yang dibalut dengan dalil-dalil agama macam firman Tuhan dan sabda Nabi-Nya. Wallahu a’lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.